Sejumlah kalangan menilai kopi di Indonesia masih
populer sebagai komoditas yang sekadar untuk pemenuhan gaya hidup
sehingga banyak pemodal menggelontorkan dana besar untuk menggeluti
bisnis kopi.
Direktur
Indonesia Budget Center, Ajeng Kesuma Nigrum, mengatakan kopi sejatinya
bukan sekadar sebagai minuman teman membaca koran pada pagi hari.
"Namun
kopi juga bisa menjadi sebagai sebuah gerakan perubahan sosial," kata
Ajeng di Pameran Foto dan Diskusi Kopi, Sastra dan Gerakan Sosial di
Warung Kalimetro, Minggu (22/2/2015) malam.
Seperti yang terjadi di Eropa, minuman kopi memiliki peran penting dalam melahirkan gagasan pergerakan. Termasuk lahirnya Revolusi Prancis. Di Indonesia, buah kopi menjadi komoditas yang datang sejak zaman penjajahan Belanda.
VOC
sejak 1830-an menghasilkan produksi kopi arabika di Jawa yang mencapai
90.000 ton per tahun. Untuk menggenjot produksi, VOC memperluas tanaman
kopi hingga Sumatra dan Sulawesi. "Dengan demikian, bermunculanlah
karakter kopi yang khas seperti kopi Gayo dan kopi Toraja," tuturnya.
Kebun
kopi di Jawa, Sumatra dan Sulawesi menjadi pemasok terbesar kopi di
Eropa. Meski VOC telah lama meninggalkan perkebunan kopi di nusantara,
kopi tetap menjadi komoditas andalan.
Hal
itu menempatkan Indonesia pada urutan ketiga pemasok terbesar kopi
setelah Brasil dan Vietnam. Namun, perkebunan kopi masih dikelola
perusahaan dengan gaya yang tak berbeda jauh dengan VOC.
"Rakyat dipekerjakan sebagai buruh dengan upah yang murah dan menyisakan konflik agraria berkepanjangan," ujarnya.
Di Indonesia lanjut Ajeng tidak ditemukan adanya gerakan sosial dengan minum kopi. Saat ini kopi hanya menjadi gaya hidup.
Kopi
digandrungi oleh orang tua sampai anak muda. Mereka rela merogoh kocek
dalam-dalam untuk sekadar menikmati kopi sambil bercengkrama di
cafe-cafe mahal.
"Para pemodal sampai rela menggelontorkan modal yang besar untuk bisnis kopi," tambah dia.
Pada
sisi lain petani kopi di dataran tinggi negeri ini hanya berbaju belel
mengolah tanah dan merawat kebun kopi mereka. Setelah melewati penantian
bertahun-tahun, hasil panen mereka dibeli dengan harga murah oleh para
tengkulak.