Pernyataan dari seorang menteri RI di atas memang cukup membuat kuping panas para civitas akademika IPB yang ingin segera mengkritisi pernyataan tersebut. Lalu apa benar kalo lulusan IPB bisa di semua bidang kecuali pertanian?
Memang bukan rahasia umum lagi kalo lulusan IPB banyak yang bekerja di luar bidang pertanian seperti perbankan, perusahaan swasta dan sebagainya. Sedangkan, mereka yang bekerja di bidang pertanian hanya sebagian kecil atau jumlahnya lebih sedikit daripada yang bekerja di bidang non pertanian.
Sebagai seorang mahasiswa pertanian yang cerdas dan kritis, kita harus mendefinisikan ulang apa pertanian itu? Apakah yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata pertanian adalah kegiatan mencangkul di sawah, menanam padi, membajak sawah, dan sebagainya? Jika hal itu yang masih terpikirkan oleh otak kita ketika mendengar kata pertanian maka pemikiran kita itu sangatlah konservatif. Pertanian itu sangatlah luas, bukan hanya sekedar kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan di atas. Pertanian di Indonesia mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, dari sosial, ekonomi, budaya, hingga politik. Bahkan 70 % persoalan pertanian bukan terletak pada pertanian, malah persoalannya terletak di luar pertanian tersebut.
Contohnya yang masih hangat diperbincangkan adalah masalah naiknya harga bawang. Lalu banyak oknum yang mempertanyakan kemana para civitas akademika IPB? Apa gunanya kita memiliki sebuah institusi pertanian jika tidak dapat menghadapi masalah seperti impor bawang ini? Persoalan yang sesungguhnya bukan teletak pada IPB. Sekali lagi kita sebagai mahasiswa pertanian yang cerdas dan kritis harus bisa menganalisis tidak hanya dari satu sudut pandang, namun, dari berbagai sudut pandang. Mari sejenak kita tengok negeri kita. Indonesia yang amat kaya akan SDA-nya dari sabang sampai merauke, namun masyarakatnya masih banyak yang hidup dalam belenggu kemiskinan.
Masalah naiknya harga bawang lalu pemerintah menawarkan solusi impor bawang adalah masalah pilihan, antara ketidakmampuan atau ketidakmauan. Indonesia mampu mencukupi kebutuhan bawang masyarakatnya seperti petani bawang yang ada di pulau Samosir, di Bali, dan di Brebes. Namun sekali lagi kita harus menggunakan sudut pandang lain, masalah ini tidak sesederhana yang kita pikir hanya dengan menanyakan di mana peranan IPB, namun dalam kasus ini kita harus melihat dari sisi ekonomi politik. Melalui impor bawang, akan ada oknum-oknum yang diuntungkan. Sehingga, ada permainan politik dalam kasus impor bawang tersebut.
Memang bukan rahasia umum lagi kalo lulusan IPB banyak yang bekerja di luar bidang pertanian seperti perbankan, perusahaan swasta dan sebagainya. Sedangkan, mereka yang bekerja di bidang pertanian hanya sebagian kecil atau jumlahnya lebih sedikit daripada yang bekerja di bidang non pertanian.
Sebagai seorang mahasiswa pertanian yang cerdas dan kritis, kita harus mendefinisikan ulang apa pertanian itu? Apakah yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata pertanian adalah kegiatan mencangkul di sawah, menanam padi, membajak sawah, dan sebagainya? Jika hal itu yang masih terpikirkan oleh otak kita ketika mendengar kata pertanian maka pemikiran kita itu sangatlah konservatif. Pertanian itu sangatlah luas, bukan hanya sekedar kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan di atas. Pertanian di Indonesia mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, dari sosial, ekonomi, budaya, hingga politik. Bahkan 70 % persoalan pertanian bukan terletak pada pertanian, malah persoalannya terletak di luar pertanian tersebut.
Contohnya yang masih hangat diperbincangkan adalah masalah naiknya harga bawang. Lalu banyak oknum yang mempertanyakan kemana para civitas akademika IPB? Apa gunanya kita memiliki sebuah institusi pertanian jika tidak dapat menghadapi masalah seperti impor bawang ini? Persoalan yang sesungguhnya bukan teletak pada IPB. Sekali lagi kita sebagai mahasiswa pertanian yang cerdas dan kritis harus bisa menganalisis tidak hanya dari satu sudut pandang, namun, dari berbagai sudut pandang. Mari sejenak kita tengok negeri kita. Indonesia yang amat kaya akan SDA-nya dari sabang sampai merauke, namun masyarakatnya masih banyak yang hidup dalam belenggu kemiskinan.
Masalah naiknya harga bawang lalu pemerintah menawarkan solusi impor bawang adalah masalah pilihan, antara ketidakmampuan atau ketidakmauan. Indonesia mampu mencukupi kebutuhan bawang masyarakatnya seperti petani bawang yang ada di pulau Samosir, di Bali, dan di Brebes. Namun sekali lagi kita harus menggunakan sudut pandang lain, masalah ini tidak sesederhana yang kita pikir hanya dengan menanyakan di mana peranan IPB, namun dalam kasus ini kita harus melihat dari sisi ekonomi politik. Melalui impor bawang, akan ada oknum-oknum yang diuntungkan. Sehingga, ada permainan politik dalam kasus impor bawang tersebut.
Setelah penguraian salah satu persoalan pertanian di atas apakah kita masih berpikir bahwa pertanian itu hanya sekedar bercocok tanam dan membajak sawah? Ketika kita membicarakan pertanian, maka kita juga akan membicarakan agriculture is social bussiness, agriculture is economic busssiness, agriculture is government bussiness. Pertanian bukan dalam konteks yang sempit, namun dalam konteks yang jauh lebih luas. Lalu jika lulusan IPB hanya berkutat dengan bercocok tanam atau membajak sawah, apa jadinya pertanian negeri ini? (Fatimah Az-Zahra, Staff Kastrat BEM FEMA IPB)