Suaramerdeka.com - Dalam kurun waktu satu tahun
terakhir, nilai impor sayur dan buah di Indonesia mencapai Rp 17
triliun. Pemerintah diminta untuk mencari solusi, sehingga hal tersebut
tidak terus terjadi kedepannya.
"Nilai impor buah dan sayur sudah
hampir setara dengan impor gandum, sekitar 17 triliun," ujar Rektor
Institut Pertanian Bogor (IPB) Herry Suhardiyanto, di Jakarta.
Menurutnya,
meningkatnya angka impor produk holtikultura tersebut disebabkan karena
adanya perubahan atau pergeseran kebiasaan masyarakat. "Semula pola
konsumsi didominasi oleh beras, sekarang bergeser ke buah dan sayur.
Artinya pola konsumsi masyarakat sudah mulai bergeser," terangnya.
Menurutnya,
hal serupa juga sudah terjadi di negera Malaysia. Sementara di Jepang,
sudah lebih mengutamakan konsumsi buah, sayur, daging, ikan, telur.
"Indonesia sepertinya juga akan kearah sana," imbuhnya
Oleh karena
itu, dirinya menghimbau kepada pemerintah untuk mengambil langkah
antisipasi sejak awal. "Kalau Indonesia tidak siap sistem produksi buah,
sayur, daging, ikan telur, dan susu, kita akan mengalami kesulitan.
Produksi pangan kita harus antisipatif kesana," harap Herry.
Jika
pemerintah mengabaikan hal tersebut, justru akan menguntungkan para
importir. "Antara hulu dan hilir harus dibereskan dalam satu kesatuan,
tidak boleh tersegmentasi. Kalau tersegmentasi petualang bisnis yang
akan diuntungkan," katanya.
Meski demikian, diaku bahwa produksi
buah dan sayur di Indonesia sudah mulai membaik, diantaranya mangga,
manggis, dan pepaya. "Jeruk masih berat karena bibit masih belum bagus,"
ujarnya.
Salah satu upaya dan kontribusi yang dilakukan IPB untuk
mengatasi itu adalah dengan mengembangkan bibit dan teknik budidaya
yang baik, serta menyiapkan SDM yang baik bersama dengan pihak terkait.
"Misalnya
dengan PTPN 8 kita sudah rencan kongkrit untuk 3 ribu hektar untuk
manggis dan 3 ribu hektar untuk durian, dalam luasan 6 ribu hektar.
Sementara menunggu berbuah, kami budidaya pepaya dan pisang," tutur
Herry.