Swasembada gula adalah mampu memenuhi
kebutuhan konsumsi gula nasional melalui produksi gula yang bersumber
dari areal tebu rakyat (252.166 ha) dan areal tebu swasta (198.131 ha).
Hal ini disampaikan Kepala Badan litbang Pertanian Dr. Haryono dalam
makalahnya yang berjudul “Upaya Pencapaian Swasembada Gula Nasional
2012” di depan peserta rapat kerja Badan Litbang Pertanian pada hari
Sabtu tanggal 26 Mei 2012 di Bogor.
Lebih
lanjut Ka Badan mengatakan bahwa produksi gula nasional pada tahun
2011 mencapai 2.228.591 ton Gula Kristal Putih (GKP), sedangkan
perkiraan produksi gula pada tahun 2012 akan mencapai 2.683.709 ton.
Berdasarkan roadmap swasembada gula, estimasi kebutuhan gula nasional
pada 2014 sebesar 2.956.000 ton GKP.
Data empiris di lapangan yang dianalisis
berdasarkan sistem dinamik oleh Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian
menunjukkan bahwa komponen pengungkit peningkatan produksi tebu adalah
melalui program bongkar ratoon 10, 15 dan 20 % dari total luas
perkebunan tebu rakyat, penataan varietas, pemberian pupuk organik dan
perbaikan sistem pengairan.
Komponen pengungkit terbesar adalah
bongkar ratoon yang diperkirakan mampu meningkatkan produksi gula
sebesar 20% dari produktivitas keprasan (RC) akhir. Pada skenario
bongkar ratoon 10 % maka kebutuhan bibit selama tahun 2012 dan 2013
mencapai 512 milyar. Pada kenyataannya Jumlah tersebut belum dpat
dipenuhi oleh produsen bibit unggul tebu dalam negeri.
Upaya memenuhi kebutuhan bibit melalui
import tidak dapat memecahkan permasalahan ketersediaan bibit dalam
waktu singkat, karena proses import bibit harus memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain bebas hama dan penyakit. Sebelum dipergunakan
di lahan petani, bibit import juga harus melalui beberapa uji, antara
lain isolasi bibit selama 6 bulan, uji kesesuaian agroekosistem dan uji
adaptasi di 4 lokasi di lahan kering dan sawah pada kondisi iklim
kering dan basah.
Apabila memenuhi persyaratan-persyaratan
uji tersebut, bibit baru bisa disebarluaskan di lahan petani. Dengan
demikian kebijakan import bibit sangat bermanfaat untuk penelitian
jangka panjang dan memperbanyak keragaman genetik sehingga dapat
dihasilkan bibit tebu dengan produktivitas dan rendemen tinggi serta
sesuai dengan kondisi agroekologi Indonesia.
Skenario lain yang dapat dilakukan untuk
mengurangi kebutuhan bibit dalam jumlah besar dengan waktu singkat
adalah mengurangi luas lahan bongkar ratoon, misalnya menjadi 5% dari
total luas perkebunan tebu rakyat yaitu sekitar 12.600 ha. Dengan
skenario ini jumlah bibit yang dibutuhkan sebesar 756 juta. Pada tahun
2013 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan mampu menyediakan 15
juta bibit asal kultur jaringan, ujar Ka Badan.
Untuk menutupi kekurangan produksi
akibat pengurangan luas bongkar ratoon, dilakukan pemeliharaan dan
intensifikasi sistem ratoon ke 4 sampai 6 pada lahan perkebunan tebu
rakyat seluas 136.152 ha. Teknologi yang perlu dilakukan adalah
memotong akar yang sudah tidak produktif (pedot oyot) diikuti dengan
pemberian 3 t/ha pupuk kandang, 1.250 kg/ha pupuk sintetis, penyulaman
dan pemeliharaan tanaman.
Di akhir makalahnya, Ka Badan
mengharapkan agar skenario ini dapat dilaksanakan dengan baik,
diharapkan ada insentif bagi petani untuk melaksanakan bongkar ratoon
dan intensifikasi sistem ratoon. (Tim Website Puslitbang Perkebunan)