![]() |
Macadamia hildebrandii yang coba dikembangkan di Sulawesi. Tempat hidup tanaman ini banyak berubah menjadi perkebunan dan tambang. Kini, sulit menemukan tanaman ini lagi. Foto: Eko Rusdianto |
Di ujung paling timur Sulawesi Selatan, sekitar 700 kilometer
Makassar, di dalam hutan yang lenyap satu per satu karena pertambangan
nikel dan pembukaan lahan, tanaman Macadamia hildebrandii, tumbuh.
Macadamia, tumbuhan asli famili Proteaceae, genus Macadamia F Muell. Di dunia, ada delapan jenis macadamia. Tujuh di benua Australia yakni Macadamia
integrifolia, Macadamia tetraphylla, Macadamia ternifolia, Macadamia
whelanii, Macadamia jansenii, Macadamia grandis, Macadamia claudensii. Satu di Sulawesi, Indonesia, adalah Macadamia hildebrandii.
Macadamia ditemukan pertama kali oleh botanis Jerman-Australia
bernama Ferdinand von Mueller pada 1857. Nama Macadamia untuk
menghormati guru medis ahli kimia bernama John Macadam.
Dari penemuan inilah macadamia menjadi makin digemari. Macadamia integrifolia dan Macadamia tetraphylla bisa dikonsumsi dan buah dimakan mentah. Kacang macadamia sebagai bahan pembuat kue, campuran es krim, dan campuran coklat.
Kacang ini biasa berwarna hijau gelap dengan permukaan licin.
Buah muncul dari salah satu ketiak daun pada ranting-ranting kecil.
Ukuran dan bentuk buah mirip dengan duku dengan tempurung keras. Secara
ekonomi, macadamia dijual Rp300.000-400.000 per kilogram.
Di Sulawesi, macadamia dapat ditemukan di sekitar pesisir
kompleks Danau Malili–Danau Matano, Mahalona dan Towuti. Namun, tidak
banyak informasi mengenai hildebrandii ini. Bahkan, penemuan di
alam liar baru oleh tim peneliti melibatkan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Kebun Raya Bogor, dan Kebun Raya Enrekang pada 2014.
Pembukaan lahan untuk perkebunan merica (lada) di lokasi penemuan Macadamia hildebrandii di Sorowako. Foto: Eko Rusdianto
Azisa, penanggung jawab registrasi tanaman di Kebun Raya Mesenrempulu Enrekang, menceritakan, perjumpaan pertama hildebrandii di pesisir Danau Matano. Dengan begitu semangat, dia membuka tangan seperti seorang hendak memeluk. “Ada banyak anakan di tempat itu. Banyak sekali,” katanya. “Kalau mau lihat ke Sorowako.”
Dia menunjukkan, koleksi hildebrandii. Batang seukuran sedotan dan hanya tumbuh beberapa. “Kita akan coba membudidayakan. Kita lihat apakah berhasil.”
***
Saya mengunjungi Sorowako. Tegakan-tegakan tiang perkebunan merica mendominasi tempat yang menurut Azisa, ada ratusan hidebrandii. Tanah merah menghampar luas, dari berbukit hingga datar.
Bersih. Rata.
Azisa begitu sedih kala tahu keadaan ini. Lewat telepon, Azisa panik. “Aduh ini bagaimana. Padahal dalam waktu dekat saya mau ambil anakan untuk penelitian.”
“Dimana lagi mencari?
Saat memasuki tanah yang sudah menjadi perkebunan, saya bertemu beberapa petani. Ada yang menebang kayu dengan senso, ada membabat rumput pakai parang. Saat menjelaskan kedatangan saya mencari macadamia atau kacang Eropa, para petani tercengang. “Tanaman apa itu? kata beberapa petani.
“Bagaimana pohonnya? Apakah buah dapat dimakan?” kata mereka.
“Apakah bapak pernah bertemu peneliti yang datang kesini?” kata saya.
“Tidak pernah. Jika tahu, pasti orang-orang tidak akan menebang semua, apalagi jika punya harga bagus.”
Tempat tumbuh macadamia telah menjadi kebun lada di Sorowako. Apakah tanaman ini masih bisa diselamatkan? Foto: Eko Rusdianto
Tinggi tanaman hildebrandii antara dua hingga delapan meter,
daun vertikal atau melingkar di batang antara tiga sampai lima helai.
Daun memanjang dengan tepi bergerigi (serrata). Rangkaian bunga dan buah keluar melalui ujung-ujung ranting dinamakan terminal.
“Mungkin seperti kacang mete? Kalau adik menemukan bibit, beri tahu
saya. Jika harga bagus, saya akan coba kembangkan,” kata Amal, seorang
petani.
Peneliti Ekologi Tumbuhan, Determinasi dan Identifikasi Tumbuhan dari Kebun Raya Bogor, Wihermanto yang ikut ekspedisi penemuan hildebrandii mengatakan, belum ada penelitian mendetail mengenai manfaat hildebrandii. “Mungkin harus ada penelitian lanjutan untuk spesies ini.”
Namun, katanya, macadamia sebagai tumbuhan endemik seharusnya
diselamatkan. Institusi seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, hingga Dinas Kehutanan harus peduli keberadaan tumbuhan
endemik ini.
Menelusuri keberadaan macadamia di Sulawesi, seperti mengurai
benang sistem ekologi dan sejarah terbentuk pulau ini. “Sulawesi
terbentuk karena pecahan benua Gondwana yang sebagian besar di benua
Australia. Tumbuhan salah satu penanda utama,” kata Wihermanto dalam
surat elektronik.
Pertambangan dan pembukaan perkebunan menjadi kekhawatiran ahli
Limnologi LIPI, Peter E. Hehanusa. Laporan di majalah National Gegraphic
Indonesia, Desember 2008, menjelaskan bagaimana jalanan tak resmi para
pembalak bagaikan urat nadi carut-marut. Kegiatan merusak ekosistem
penyokong keberadaan kehidupan danau, termasuk tata air ini makin
mengganas, tanpa memedulikan masa depan.
Dia juga menyoroti, bagaimana proses ribuan bahkan ratusan ribu tahun
ini menghasilkan nikel menjadi urat nadi kehidupan di sekitar Sorowako.
Saya mengunjungi pelestarian dan penghijauan tanaman PT Vale –
sebagai perusahaan yang menambang nikel di Sorowako, sekaligus mencari macadamia.
Dengan berkendara menelusuri wilayah-wilayah pedalaman, dari Sorowako
hingga Desa Timampu. Dari pesisir Danau Matano hingga Danau Towoti.
Nampak jelas, sayatan-sayatan punggung bukit mulai gundul karena tambang
hingga perkebunan. Meskipun tak menemukan tanaman ini, saya berharap,
semoga tak musnah.
Pegunungan yang terbuka oleh pertambangan dilihat dari Danau Matano. Foto: Eko Rusdianto